Kapankah kita hidup? Kapan kita benar-benar hidup?
Kalau Anda ingat film KungFu Panda pertama, Master Oogway berkata:
"Yesterday is history, Tomorrow is mystery.
But today is a gift, That's why it is called the present"
Master Oogway tidak salah, tapi juga kurang lengkap: kita hanya bisa benar-benar hidup di "kesadaran saat ini".
1 hari = 24 jam. Rasanya semua orang tahu "fakta" ini. Dengan estimasi 15 derajat garis bujur per jam, seluruh dunia ini terbagi menjadi zona-zona waktu. Tetapi apakah seseorang yang tinggal di zona WIT (Waktu Indonesia Timur) hidup di masa depan dan yang tinggal di zona WIB (Waktu Indonesia Barat) hidup di masa lalu?
Dari hal tersebut mungkin kita bisa memahami bahwa zona waktu adalah suatu kesepakatan: coordinated universal time. Lalu bagaimana dengan waktu? 1 hari sama dengan lama rotasi bumi (23 jam 56 menit 4 detik). Satu detik adalah durasi yang berlalu selama 9.192.631.770 siklus radiasi yang dihasilkan oleh transisi antara dua tingkat atom Cesium-133. Lagi-lagi, ini adalah suatu kesepakatan.
Adalah menarik melihat betapa kerangka konseptual bernama waktu, membuat kita terjebak dalam "ilusi" bahwa ada masa lalu, masa depan dan masa kini. Sedikit banyak, Anda menyadari betapa mudahnya kita "meloncat" ke "masa depan": melamun, memprediksi, berharap, khawatir, dan seterusnya. Atau ke "masa lalu": nostalgia, menyesal, berandai-andai, dan sebagainya.
Kita tidak menyadari bahwa yang kita sebut "masa depan" dan "masa lalu" itu sebenarnya merupakan buah pikir atau pemikiran yang sedang terjadi di saat ini. Pemikiran itu riil terjadi/berproses di saat ini. Tetapi ISI dari buah pikir itu, yang biasanya terkait sesuatu yang "telah" atau "belum (dan mungkin tidak akan)" terjadi, tidak benar-benar sedang terjadi.
Kita tidak menyadari bahwa yang kita sebut "masa depan" dan "masa lalu" itu sebenarnya merupakan buah pikir atau pemikiran yang sedang terjadi di saat ini.
Yang ada, hanya "masa kini" yang senantiasa "mengalir". Kita bahkan tidak bisa menyebutnya sebagai "masa kini". Karena jika semuanya adalah "masa kini", maka tidak perlu ada sebutan "masa kini". Mungkin, yang secara praktis benar-benar "ada" adalah sensasi sentuhan kaki di sepatu yang sedang kita kenakan, rasa gerakan mata ketika membaca ini, atau rasa suhu ruangan tempat kita berada saat ini. Tidak perlu ada konsep bernama "masa kini" (baca: waktu) yang dilekatkan pada pengalaman riil yang sedang terjadi.
Sekali lagi, mungkin yang benar-benar "ada" adalah pengalaman panca indera dan pikiran-hati kita. Itu pun, jika ada perhatian atau kesadaran yang diarahkan padanya. Mungkin, kita pernah mengamati (sambil senyum-senyum) bagaimana seseorang kebingungan, berusaha menemukan kacamata yang ada di kepalanya dan sudah mencari selama beberapa waktu. Bagi si pencari, kacamata di kepalanya itu "TIDAK ADA". Begitu seseorang yang lain menunjukkan atau memberi tahu bahwa kacamata itu ada di kepalanya, kacamata itu SPONTAN menjadi "ADA" bagi si pencari. Kesadaran yang diarahkan ke kacamata (setelah diberi tahu) membuat kacamata itu “ADA”.
Sekali lagi, mungkin yang benar-benar "ada" adalah pengalaman panca indera dan pikiran-hati kita. Itu pun, jika ada perhatian atau kesadaran yang diarahkan padanya.
Memahami hal di atas, kita dihadapkan dengan pertanyaan: bagaimana jika seseorang tidak pernah benar-benar menghadirkan kualitas kesadaran (mindfulness) dalam hidupnya? Bagaimana jika kualitas kesadaran tidak pernah DIHADIRKAN di dalam aktivitas sehari-hari yang kecil seperti berjalan, makan, mandi, sikat gigi? Simplifikasi yang mungkin bisa menjawab pertanyaan ini adalah: LUPA.
Tanpa kesadaran, kita menjadi lupa akan hal yang benar-benar "ada". Alih-alih bersama dengan yang benar-benar "ada", kita terjebak di dalam ilusi waktu: ilusi masa depan dan masa lalu. Dengan kata lain, kita LUPA untuk benar-benar HIDUP. Mungkin, itu juga salah satu alasan mengapa, setelah Siddharta Gautama mengalami pencerahan, ketika ditanya oleh salah seorang petapa: "Siapakah Anda?", Beliau menjawab: "Saya adalah yang telah sadar".
Tanpa kesadaran, kita menjadi lupa akan hal yang benar-benar "ada". Alih-alih bersama dengan yang benar-benar "ada", kita terjebak di dalam ilusi waktu: ilusi masa depan dan masa lalu
*****
Penulis: Sugiarto
Artikel ini juga bisa dibaca di: https://greatmind.id/article/kontrol-kejernihan-dan-keheningan