Sewaktu liburan di Bali bulan lalu, saya mengalami kesadaran ini mendadak membuka luas (bahasa Jawa: njeplak) melampaui kungkungan penjara perasaan dan pemikiran, selagi saya praktik renang berkesadaran.
Pengalaman ini sebetulnya tidaklah baru bagi saya, namun kali ini kejadiannya berulang beberapa hari berturut-turut, memungkinkan saya untuk lebih mencermati kausalitas kondisi dan probabilitasnya.
Semuanya dimulai setelah rutinitas bangun di pagi hari, ketika pikiran dan tubuh terasa lesu atau bahkan grumpy. Perasaan terasa kacau dan banyak pikiran negatif tanpa alasan yang jelas. Dengan malas saya turun ke kolam renang hotel yang sepi. Meskipun saya merasakan aneka negatifitas, saya berusaha untuk sebisa-bisanya meletakkan perhatian pada sensasi sejuk air kolam di sekujur tubuh pada sesi berenang pagi hari tersebut.
Pikiran kacau tentu saja terus menerus berusaha mendistraksi, namun saya dengan ramah membimbing perhatian saya kembali pada sensasi-sensasi sekujur tubuh yang sedang melaju perlahan mengelilingi kolam renang.
Setelah berenang tanpa henti selama setengah jam, kesadaran tiba-tiba membuka luas, njeplak, melampaui kungkungan perasaan dan pemikiran negatif yang selama ini memenjara.
Saya menyaksikan dan mengalami langsung bahwa saya bukanlah pikiran dan perasaan saya. Kebiasaan primitif yang mengidentifikasi diri dengan pikiran dan perasaan tiba-tiba terlepas. Oh, begitu bebas dan bahagianya. Hal-hal negatif yang tadinya terasa begitu besar menindih, tiba-tiba menjadi tak berarti.
Pameo terkenal dari filsuf Perancis abad ke-17 yang dijuluki Bapak Filsafat Barat Modern, Rene Descartes, "Saya berpikir, maka saya ada" (Cogito, ergo sum) ternyata salah.
Selesai berenang saya lalu merenungkannya lebih dalam. Descartes telah melakukan tiga lapis kesalahan berpikir, yaitu: redundansi, penalaran emosional, dan reifikasi. Kesalahan-kesalahan dalam berpikir semacam ini akan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu bagi diri sendiri dan orang lain.
Saya lalu merenungkannya lebih dalam. Descartes telah melakukan tiga lapis kesalahan berpikir, yaitu: redundansi, penalaran emosional, dan reifikasi. Kesalahan-kesalahan dalam berpikir semacam ini akan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu bagi diri sendiri dan orang lain.
Descartes terlalu berlebihan, turah, redundan, dengan menambahkan entitas "saya" pada peristiwa yang sebenarnya hanya "ada kegiatan berpikir". Beberapa filsuf seperti Pierre Gassendi dan Frederich Nietzche sebelumnya telah mengkritik hal serupa, namun kritik-kritik tersebut kurang populer.
Selain terlalu turah, Descartes juga sembrono dalam menyimpulkan bahwa perasaannya adalah kebenaran. Dalam tradisi psikologi Terapi Kognitif hal ini disebut sebagai kesalahan penalaran emosional.
Kesalahan ketiga Descartes adalah reifikasi: ia tidak hanya membuat pernyataan "saya berpikir, maka saya ada" sebagai sebuah pernyataan semata, namun juga meyakini serta membangun sistem argumen yang kompleks untuk membela pernyataannya. Dengan kesalahan lapis ketiga yakni reifikasi ini ironisnya ia telah menutup peluang bagi jalan keluar dari kesalahan-kesalahan berpikirnya sendiri.
René Descartes kadang dikatakan telah menggunakan metode keragu-raguan (skeptisisme) yang radikal dalam menginvestigasi pemikirannya. Namun keraguannya itu ternyata tidaklah cukup radikal. Kekeraguan itu cuma mandeg pada kesimpulannya sendiri, "Cogito, ergo sum" (Saya berpikir, maka saya ada), sehingga ia terpenjara di situ. Peluang untuk bisa terbebas dari kungkungan penderitaan pikiran dan perasaan pun tertutup.
Demikianlah pengalaman praktik mindfulness dan refleksi saya. Bagaimana dengan pengalaman dan pemikiran yang dimiliki oleh para pembaca?
Semoga bisa memberikan sudut pandang baru dalam memandang hakikat diri dan pemikiran kita sendiri.
*****
Penulis: Agus Santoso
Artikel ini juga bisa dibaca di: https://greatmind.id/article/meditasi-menembus-kesalahan-berpikir-descartes